Beranda Goverment Investigasi Layanan Publik Pekerja Migran Ombudsman RI

Investigasi Layanan Publik Pekerja Migran Ombudsman RI

BERBAGI

Jakarta, HaloIndonesia – 18 Desember diperingati sebagai HARI BURUH MIGRAN INTERNASIONAL, salah satu yang masih dituntut kepada Pemerintah adalah Penghentian segala bentuk kebijakan dan praktek yang masih mendiskriminasi buruh migran Indonesia

Ombudsman RI mencermati bahwa sampai dengan saat ini belum ada progres yang merata terkait perbaikan pelayanan publik terhadap pekerja migran dan juga lemahnya penegakan hukum untuk mengatasi persoalan dan penyimpangan yang terjadi, khususnya dalam proses pra penempatan sebelum pekerja migran berada di luar negeri/negara penempatan.

Maka tahun 2017 Ombudsman RI melakukan kajian mengenai indikasi maladministrasi pada proses pra penempatan pekerja migran. Kajian dilakukan dengan mencermati potensi perdagangan orang yang mungkin terjadi akibat adanya maladministrasi dalam proses pra penempatan pekerja migran. Kajian dilakukan bulan Juni-September 2017, dengan data dari wilayah pengirim dan juga wilayah transit pekerja migran yaitu Jawa Barat, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kepulauan Riau dan DKI Jakarta.
Kajian tersebut memperoleh temuan dan kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat maladministrasi pada proses pra penempatan pekerja migran, antara lain pada tahap perekrutan, pegurusan dokumen, pendidikan dan Pelatihan, Pemeriksaan Kesehatan dan Psikologis, Perjanjian Kerja, dan Pembekalan Akhir Penempatan (PAP). Bentuk maladministrasi yang terjadi dari hasil temuan Ombudsman RI,berupa; penyimpangan prosedur, tidak kompeten, permintaan imbalan, tidak memberikan pelayanan, penyalahgunaan wewenang, dan perilaku tidak patut.
2. Penyebab maladministrasi dalam pra penempatan pekerja migran tersebut, antara lain:
a. Kurangnya pengawasan pemerintah dalam hal ini yang seharusnya dilakukan oleh Kemenaker, BNP2TKI, Pemerintah Daerah, dan Disnaker;
b. Kewenangan PPTKIS dalam pengiriman tenaga kerja yang diberikan oleh pemerintah meliputi keseluruhan proses pra penempatan, mulai dari job order hingga keseluruhan persyaratan dokumen kerja. Kondisi ini menyebabkan ada ketergantungan calon pekerja migran hanya kepada PPTKIS dan tidak ada ruang intervensi dari pemerintah.
c. Rendahnya kontrol masyarakat dan kearifan lokal untuk melindungi dan mencegah migrasi yang tidak aman dan sering berulang.
3. Potensi tindak pidana perdagangan orang akibat maladministrasi pra penempatan Pekerja Migran,antara lain:
d. Adanya pemalsuan data dan penipuan dalam proses Rekruitmen, pemindahan, pelatihan dan penampungan yang menyulitkan pemerintah memberikan perlindungan, dan potensial untuk terjadinya eksploitasi kepada pekerja migrant pada saat berada di negara penempatan.
e. Kurangnya informasi/pengarahan dari PPTKIS dan juga Disnaker kepada calon pekerja migrant mengenai hak dan kewajiban, gaji, hubungan kerja dengan pengguna, tempat mengadu jika terjadi permasalahan.
f. Minimnya pendidikan dan pelatihan terhadap calon pekerja migran (kompetensi dan bahasa), dan kurang optimalnya fungsi dari Balai Latihan Kerja (BLK).
g. Tidak dilakukannya pemeriksaan psikologi sebagai bagian dari persyaratan pemeriksaan kesehatan bagi pekerja migran, sehingga kondisi psikis kesiapan pekerja untuk bermigrasi tidak diketahui.
h. Tidak optimalnya penyelenggaraan PAP antara lain masih terdapat pengajar yang kurang baik dalam cara penyampaian materi karena secara faktual tidak menguraikan hambatan dan kendala yang akan dihadapi selama proses bekerja hingga kembali ke daerah asal; alokasi waktu belajar yang terbatas, tidak sebanding dengan jumlah modul yang dipelajari; serta ditemukan kurang proporsionalnya antara jumlah peserta dengan kapasitas kelas, sehingga tidak memberi peluang untuk dapat berdialog dengan leluasa dan/atau metode pengajaran yang tidak mengakomodir kebutuhan spesifik calon pekerja.
​Upaya pemerintah dalam perbaikan pelayanan pra penempatan pekerja migran telah dilakukan seperti;mencabut ijin PPTKIS,membuat sistem online untuk pendataan TKI dan pengurusan SIP,transaksi non tunai pengruusan sertifikasi kompetensi,program desa migran produktif, perbaikan regulasi (RUU),pemberian asuransi TKI/Pekerja Migran, pengawasan penampungan, hingga pemberian pembekalan akhir pemberangkatan/PAP. Untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang, diantaranya (i) koordinasi dan kerjasama dengan stakeholder, (ii) membentuk satgas tindak pidana perdagangan orang serta satgas pekerja migran, (iii) Adanya Pergub dan Perda tentang Pekerja Migran dan Tindak Pidana Perdagangan Orang, (iv) telah dibentuknya Pelayanan Satu Pintu Penempatan dan Perlindungan TKI di tingkat Pemerintah Provinsi; seperti di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Jawa Timur, Jawa Barat.
​Tetapi segala upaya dimaksud faktanya sampai bulan Oktober 2017, ketika dilakukan konfirmasi kepada instansi terkait atas hasil temuan diatas, intinya instansi terkait (Kemenaker, BNP2TKI) menyadari bahwa temuan tersebut masih terjadi. Kemudian saran ombudsman RI mengenai perbaikan pelayanan publik dan penegakan hukum diberikan kepada instansi terkait dalam acara publikasi bertepatan dengan hari migrant internasional pada tanggal 19 Desember 2017. Selanjutnya Ombudsman RI tetap melakukan pengawasan atas saran yang diberikan kepada instansi terkait.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.