Jakarta, Haloindonesia.co.id – Penerbangan nasional kembali menggeliat pasca dihantam ‘turbulensi’ pandemi Covid-19 selama dua tahun terakhir. Meski, saat ini pandemi Covid-19 masih berada ditengah-tengah kita, burung besi mulai mengepakkan sayapnya di langit nusantara. Ada berbagai tantangan, diantaranya tiket pesawat yang dirasakan masih mahal oleh sebagian besar masyarakat.
Denon B Prawiraatmadja, Wakil Ketua Umum KADIN Bidang Perhubungan dan sekaligus Ketua Umum Indonesia National Air Carrier Association (INACA) periode kepengurusan 2019-2022, mengatakan ada dua point perspektif sudut pandang mengenai perkembangan dunia aviasi, yaitu dari INACA dan KADIN. “INACA sebagai asosiasi penerbangan nasional dan KADIN mewakili para pengusaha asional bidang transportasi,” ujar Denon, yang juga menjabat sebagai CEO WhiteSky Aviation, kepada Halo Indonesia, di Jakarta, Senin (8/8/2022).
Lanjut dia, dari sudut pandang INACA, dalam dua tahun terakhir sektor transportasi darat, laut, udara dan kereta api, moda transportasi udara yang sangat terdampak pandemi Covid-19. “Indonesia merupakan negara kepulauan dan transortasi udara menjadi critical untuk mobilitasi penumpang dan barang,” ucap Denon.
Upaya Mempercepat Recovery
Pasca pandemi Covid-19 varian Delta, dia menambahkan, industri penerbangan mulai bangkit kembali dan dalam white paper yang ditulis Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung menyatakan recovery dunia penerbangan Indonesia perlu memperhatikan beberapa tantangan. Pertama, bagaimana maskapai pasca pandemi 2021, kewajiban yang harus dilakukan sepanjang masa pandemi 2020-2021 dapat diselesaikan.
“Ada beberapa maskapai yang menghadapi situasi kebangkrutan dan gugatan hukum. Pada saat demand mulai pulih, permasalahan dari sisi keuangan dan kinerja usaha di dua tahun terakhir diselesaikan. Masing-masing maskapai melakukan berbagai upaya dalam penyelesaikan kewajiban-kewajiban tersebut,” jelas Denon.
Dia menambahkan, baik maskapai kecil, menengah, dan besar, saat ini berupaya agar tetap survive dan dalam hal ini saya melihat regulator (Kementerian Perhubungan atau Kemenhub) dari sisi teknis sudah cukup kooperatif. “Kemenhub sudah cukup responsif dan proaktif dalam rangka membantu kebutuhan maskapai untuk membangkitkan dunia penerbangan nasional,” tegas Denon.
Jika recovery dunia penerbangan nasional tidak di support pemerintah, menurut Denon, tentu saja periode kebangkitan dunia aviasi akan semakin lama. “Untuk masalah teknis, maskapai jika ingin mengembalikan kapasitas jumlah pesawat sebelum masa pandemi perlu melakukan pemeriksaan di maintenance facility. Dengan jumlah MRO yang ada saat ini, tentu saja akan menjadi tantangan tersendiri agar dapat melakukan pengecekan kembali pesawatnya. Sisi teknis ini menjadi tantangan yang dihadapi maskapai,” jelas Denon.
Dengan semakin minimnya jumlah kapasitas pesawat yang ada, menurut dia, mekanisme pasar berlaku. Dimana supply lebih sedikit dari demand sehingga harga tiket mengalami kenaikan. “Ditambah lagi dengan harga Avtur yang naik hingga 100% dan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dolar Amerika Serikat mengalami kenaikan. Hal ini menjadi tantangan yang tidak sederhana untuk diselesaikan oleh maskapai. Tetapi kita harus tetap membangun optimisme bersama-sama bersama stake holder penerbangan untuk memeprcepat recovery dunia aviasi nasional,” kata Denon.
Potensi Market Besar
Jika melihat dari opportunity market, Indonesia memiliki potensi yang cukup besar di moda transportasi udara. “Indonesia memiliki sekitar 270 juta jiwa penduduk dan sebagai negara kepulauan terbesar di dunia moda transportasi udara untuk angkutan penumpang tidak tergantikan dengan moda transportasi laut dan darat,” ujar pria yang menduduki posisi Chairman Indonesia National Air Carriers Association (INACA) atau Asosiasi Perusahaan Penerbangan Nasional Indonesia.
Akan tetapi, menurut Denon, peluang pasar bisnis aviasi yang di miliki Indonesia ada tidak hanya sekadar dijalani saja. “Sebagai para pelaku bisnis di dunia aviasi membutuhkan strategi fundamental dari pemerintah. Pasalnya, bisnis penerbangan sangat sarat dengan aturan internasional (ICAO) dan nasional (Kemenhub),” jelasnya.
Pemerintah Indonesia dapat membangun strategi fundamental penerbangan dengan menerapkan konsep Hub and Spoke. “Untuk mengedepankan Indonesia sebagai negara tujuan pariwisata tentu saja jangan sampai menguntungkan pihak maskapai asing dengan banyaknya bandara internasional di Tanah Air,” ujar Denon.
Membangun Optimisme
Berbicara dari sisi penurunan penumpang akibat pandemi Covdi-19 di 51 bandara Indonesia, 2029 mencapai hampir 175 juta. Tetapi di 2020 turun menjadi sekitar 80-90 juta. Ada penurunan penumpang sekitar 60 persen. “Ada dua penyebab penurunan penumpang akibat pandemi Covid-19. Pertama, pada saat itu pemerintah belum siap atau paham menangani protokol kesehatan di dalam setiap pelaku penerbangan sehingga dalam menerapkan protokol kesehatan di setiap airport masih berdasarkan intuisi yang terjadi di lapangan di masing-masing daerah,” jelas Denon.
Di 2021, semua aturan yang berlaku adalah aturan pemerintah pusat sehingga tidak terjadi perbedaan aturan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat. “Hal ini memberikan dampak yang cukup jauh kepada masyarakat,” kata dia.
Selanjutnya, Kedua mengenai vaksinasi, di 2020 vaksinasi belum banyak. Pada 2021, pemerintah bersama-sama melakukan program vaksinasi massal, termasuk KADIN. “Di 2021 sudah ada sekitar 120 juta masyakat Indonesia yang sudah di vaksin sehingga herd immunity berjalan. Artinya, apa yang telah direncanakan pemerintah sudah sampai. Kondisi ini membawa rasa optimis untuk 2022,” ucap dia.
Akan tetapi, menurut Denon, yang tidak boleh dilupakan bahwa periode dimana penurunan jumlah penumpang di 2020 hingga 2021 yang mencapai sekitar 60 persen membuat maskapai kesulitan dari sisi kerjasama dengan lessor yang selama ini mendukung kegiatan penerbangan. “Ada banyak lessor-lessor di Amerika Serikat yang mengalami kebangkrutan. Proses negosiasi B to B antara maskapai dan lessor mungkin sedang dilakukan dari sisi ketersedian pesawat. Mudah-mudahan pada saat masyarakat kembali siap melakukan kegiatan ekonomi, maskapai sudah mencapai kesepakatan dengan para lessor pesawat,” kata dia.
Di dalam kesepakatan antara maskapai dengan para lessor ada satu hukum internasional yang disebut dengan Irrevocable Deregistration and Export Request Authorization (IDERA). Sederhananya IDERA merupakan Hak Jaminan Atas Pesawat Udara untuk melindungi kreditur, yaitu dengan menggunakan Surat Kuasa yang tidak dapat dicabut kembali untuk memohon penghapusan pendaftaran dan ekspor.
Industri penerbangan nasional di 2022 diharapakn lebih baik dari tahun 2021. Tentu halini meruapakan bagian dari dukungan pemerintah dalam Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). “Target 70% dari tahun 2019 atau sekitar 60 juta penumpang per tahun di 2022 untuk domestic market tentu akan membantu para maskapai mempunyai kemampuan untuk merestrukturiasai hutang lessor atau pihak lain,” ucap Denon.
Dia menambahkan, KADIN Indonesia melalui program JPPI, yaitu penerbangan pelosok Indonesia diharapkan menjadi fundamental strategy dalam menyelenggarakan transportasi penerbangan ke pelosok Indonesia. “Potensi penerbangan nasional Indonesia masih sangat menjanjikan. Kita memiliki sekitar 360 bandara, yang mana 325 diantaranya perlu dikembangkan menjadi bandara komersial yang saat ini masih dikelola Kementerian Perhubungan,” jelas Denon.
Bisnis Charter Menarik
Pasar penerbangan yang berkembang pesat di tanah air, bukan hanya maskapai berjadwal yang menikmati. Tapi juga perusahaan penerbangan tidak berjadwal, yakni jasa penyewaan (charter) pesawat dan helikopter. Misalnya, PT Whitesky Aviation. Belakangan, Whitesky Aviation semakin dikenal publik lantaran menawarkan helicity. Yaitu, transportasi umum atau taksi udara berbasis helikopter yang ditujukan sebagai kendaraan alternatif di perkotaan.
Langkah awal Denon pasca mengakuisisi Kura-Kura Aviation adalah mengganti nama perusahaan menjadi Whitesky Aviation. Pasalnya, lini bisnis perusahaan ini tak sekadar melayani perjalanan wisata ke Kura-Kura Island, juga tempat lainnya.
Dia menyebutkan, kiat suksesnya berbisnis penyewaan pesawat dan helikopter, selain pemainnya yang belum banyak dan kebutuhannya selalu ada, juga karena mampu menerapkan helicopter management sebagai teori yang ia praktikkan dengan baik.
Dalam helicopter management, Denon menjelaskan, yang dikedepankan adalah sistem pengawasan yang baik dan harus selalu tercatat. Maklum, bisnis ini termasuk salah satu bisnis teknologi dengan risiko tinggi.
Keselamatan memang menjadi hal yang paling penting dalam dunia penerbangan, tak terkecuali bagi jasa penyewaan pesawat dan helikopter. “Apapun aktivitas manajemen yang kami lakukan, yang dilihat harus dari sisi keselamatannya,” ungkap Denon.
Denon menuturkan, dengan adanya bisnis manajemen helikopter di Indonesia, kelak ketika ada pembeli helikopter Bell dari negara kita, mereka tak perlu khawatir soal pemeliharaan dan suku cadang. “Mereka tinggal pakai ketika dibutuhkan. Perawatan helikopter ini dilakukan di hanggar yang berlokasi di Bandara Soekarno-Hatta,” pungkas Denon. (***)