Beranda Frame Lima Ibu Perbaiki Uji KUHP Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami

Lima Ibu Perbaiki Uji KUHP Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami

BERBAGI
Lima Ibu Perbaiki Uji KUHP Soal Penculikan Anak oleh Mantan Suami

Jakarta, Haloindonesia.co.id – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang pengujian frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946), pada Rabu (15/11/2023) di Ruang Sidang Pleno MK. Permohonan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini dimohonkan oleh lima pemohon yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak.

Agenda sidang kali ini adalah pemeriksaan perbaikan permohonan. Dalam persidangan, kuasa pemohon Virza Roy Hizzal menyebutkan, sebelumnya batu uji pada permohonan terlalu banyak. Dalam perbaikan permohonan pihaknya memfokuskan dua batu uji saja yaitu Pasal 28B ayat (2) UUD 1945. “Kenapa itu penting, karena itu berbunyi bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ini menurut kami menjadi penting untuk menjadi batu uji norma KUHP yang kami ujikan. Kemudian batu uji kedua mengenai asas kepastian hukum 28D ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum,” terangnya.

Selanjutnya, perbaikan penulisan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang sebelumnya ditulis tidak lengkap. “Udah kami formalkan penulisannya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Itu sudah kami perbaiki,” sebut Virza.

Virza juga menambahkan uraian pada pokok permohonan. Ia memasukkan empat negara sebagai perbandingan hukum Internasional dalam kasus ini.

Sebagai tambahan informasi, permohonan dengan Nomor 140/PUU-XXI/2023 ini diajukan oleh lima ibu, yakni Aelyn Halim, Shelvia, Nur, Angelia Susanto, dan Roshan Kaish Sadaranggani. Kelima Pemohon merupakan para ibu yang sedang memperjuangkan hak asuh anak. Para Pemohon menguji frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 1946 (KUHP 1946).

Selengkapnya Pasal 330 KUHP ayat (1) menyatakan, “Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”.

Dalam persidangan pemeriksaan pendahuluan yang digelar di MK pada Kamis (2/11/2023), kuasa pemohon Virza Roy Hizzal mengatakan para Pemohon seluruhnya memiliki kesamaan, yakni setelah bercerai dengan suaminya, memiliki hak asuh anak. Namun, saat ini tidak mendapat hak tersebut karena mantan suaminya mengambil anak mereka secara paksa. Misalnya yang dialami Aelyn Halim. Ia mengaku tidak mengetahui di mana putrinya yang bernama Arthalia Gabrielle itu berada, karena telah disembunyikan oleh mantan suaminya. Peristiwa ini bermula  pada 15 Agustus 2020, pada saat Arthalia berusia 2 tahun 8 bulan. Mantan suami Aelyn yang juga ayah kandung Arthalia itu, mengambil Arthalia saat Aelyn sedang beraktivitas di luar rumah.

Selanjutnya Aelyn melaporkan peristiwa tersebut ke pihak kepolisian. Namun, laporan Aelyn tidak diterima dengan alasan yang membawa kabur adalah ayah kandungnya.

Virza menyebut negara harus hadir ketika terjadi pelanggaran terhadap hak-hak anak. Perbuatan memisahkan dan menutup akses anak dengan orang tuanya berdampak buruk bagi tumbuh kembang anak bukanlah ranah hukum privat melainkan telah memasuki ranah publik dalam hal ini hukum pidana.

Menurut para Pemohon, frasa “Barang siapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP sudah sepatutnya diberlakukan bagi setiap orang termasuk Ayah atau Ibu kandung dari anak, sebagai subjek hukum. Tidak boleh ada pengecualian yang memberikan kekuasaan dan kewenangan mutlak bagi Ayah atau Ibu jika sampai terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak anak sehingga tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya. Pemenuhan hak-hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia di mana terdapat peran dan tanggung jawab negara memberikan perlindungan, pengawasan serta penegakan hukum guna tercapainya kesejahteraan bagi anak. Oleh karenanya negara berwenang melakukan penindakan terhadap orang tua yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak anak.

Dalam petitum, para Pemohon meminta MK menyatakan frasa “Barangsiapa” dalam Pasal 330 ayat (1) KUHP yang berasal dari Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch – Indie (Staatsblad 1915 Nomor 732), yang kemudian berlaku berdasarkan UU 1/1946 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana jo. UU 73/1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU 1/1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai “Setiap orang tanpa terkecuali Ayah atau Ibu kandung dari anak.”

Bagikan

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.